dimuat GALAMEDIA 15 Desember 2016

Setiap kegiatan pasti butuh dana, dan dana kolektif yang paling menyedot perhatian serta kadang “menyengsarakan” rakyat adalah dana kampanye untuk Pilkada atau Pilpres. Semua tahu kampanye  mempunyai pengeluaran yang besar, mulai dari biaya kendaraan untuk kandidat , konsumsi  sampai pembuatan iklan dan tayang di berbagai nedia.

Dimana mereka dapat dana sebesar itu?, tentu dari sponsor yang merasa (akan) diuntungkan dengan kampanye itu. Swasta tentunya. Sebab kalau menghitung dana dari pemerintah, semua partai yang ada hanya menerima 8.675.215.464 setiap tahunnya,. Dana tersebut tak cukup untuk kampanye sebuah pilkada yang tersebar di seantero Nusantara.

Pihak manapun yang terikat dan mampu membantu kampanye, mau tidak mau dianggap sebagai suatu perjanjian imbalan yang tidak sah atau tidaknya bisa diukur dari tingkat kemauan mereka,  sehingga tak salah jika masayraat menilai dan kampanye partai politik tersebut sama dengan korupsi politik.

Tetapi yang harus difahami adalah, betapa sulitnya memantau dan membuat sistem yang efektif untuk melakukan pendanaan terhadap partpol dan atau Pilkada sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan dana. Dan itu dialami pula oleh semua negara, sehungga di banyak negara telah mengalami penyimpangan pengadaan dana kampanye yang disediakan pihak tertentu, ini disebabkan karena adanya  perjanjian imbalan bagi pemberian dana kampanye.

Dana kampanye partai politik dan Pilkada bisa  berjalan dengan baik bila dirancang dengan baik pula serta  didukung oleh sanksi  efektif, difusi paralel yang sesuai etika dan norma regulasi-regulasi dana kampanye diantaranya tidak diperkenankan menggunakan dana dari  negara untuk tujuan politik publik,ini perlu pengawasan yang baik oleh pemerintah  supaya tidak terjadi penggunaan dana negara.

Selain itu partai politik pengusung para Calon pemimpin harus mempunyai  batasan pengeluaran agar tidak akan mengalami pengeluaran yang melebihi pasokan dananya, sebab jika tidak Parpol akan mengarah kepada pencarian pendanaan yang bisa saja melanggar aturan.

 

Dana Pilkada                                                           

Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations convention against Corruption) mengakui Konsep pendanaan politik dapat mempengaruhi berbagai bagian dari sebuah lembaga masyarakat yang dapat mendukung keberhasilan pemerintah dan masyarakat. Dengan penanganan pendanaan politik yang benar akan berdampak pada kemampuan suatu negara untuk secara efektif mempertahankan adanya pemilihan yang bebas dan adil, pemerintahan yang bersih dan efektif, pemerintahan yang demokratis, dan adanya regulasi pemerintah mengenai pemberantasan korupsi.

Pendanaan partai Poltik dalam kampanye dilarang menjadi permasalahan dalam bagian dari sistem politik dengan adanya peraturan yang dapat mengaturnya.  Selain itu konteks dan budaya politik harus diperhitungkan ketika merencanakan strategi dalam melakukan pengendalian pendanaan dalam politik. Pendanaan kampanye Pilkada dan parpol merupakan momentum penting mendorong Akuntabilitas Pendanaan Politik. Tahun 2014 lalu ada  ketidaksiapan Partai Politik di dalam menyiapkan Laporan Dana Kampanye .

Perlu digahami oleh semua pihak, dana kampanye  merupakan salah satu hal krusial yang harus mendapatkan perhatian banyak pihak dalam Pilkada dari tahun ke tahun. Masayrakat tak harus meginginkan  transparansi dan keterbukaan laporan dana kampanye  karena hal itu menjadi rahasia Parpol, meskipun seharusnya memang transaparan.

Jadi tetap dana  kampanye  diatur dalam UU No 8 Tahun 2012 Pasal 129, ayat 4 yang berbunyi dana Kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempatkan pada rekening khusus dana Kampanye partai politik peserta pemilu pada bank. Adanya mekanisme pelaporan dana kampanye Caleg atau calon pemimpin ke partai politik juga membuat partai politik mempunyai kekuatan kontrol terhadap mereka dalam hal penggunaan dana kampanye.

Ada satu tahapan penting yang tidak boleh terlewatkan oleh pasangan calon yang ingin berkampanye, yaitu penyerahan laporan awal dana kampanye (LADK). Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, disebutkan pada Pasal 75, bahwa: “Laporan sumbangan dana kampanye dan pengeluaransebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5) dan ayat (6),disampaikan oleh pasangan Calon Gubernur dan Calon WakilGubernur kepada KPU Provinsi dan pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon WakilWalikota kepada KPU Kabupaten/Kota dalam waktu 1 (satu) hari sebelum masa kampanye dimulai dan 1 (satu) hari sesudah masakampanye berakhir.

Dengan demikian KPU menetapkan bahwa penyerahan laporan dana kampanye dilakukan sebanyak tiga. Pertama, penyerahan laporan awal dana kampanye (LADK) pada tanggal 27 Oktober 2016. Kedua, penyerahan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), 20 Desember 2016 dan ketiga penyerahan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, 12 Februari 2017.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, pada pasal 74 bahwa sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak Rp.75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp.750.juta.

Nah, betapa “pasuliwernya” uang di tiap kota/kabupaten setiap Pilkada. Cag!